Halaman

Kamis, 31 Maret 2011

teori-teori motivasi

Teori Motivasi Kognitif Teori ini fokus terhadap kepercayaan siswa, ekspektasi, kebutuhan akan tugas, kemampuan memprediksi, dan pemahaman siswa. Terdapat sebuah contoh kasus, misalnya mengapa anak umur 4 tahun tertarik untuk bermain puzzle?mengapa anak-anak kecil cenderung ingin bereksplorasi dengan lingkungan?dan mengapa seorang anak cenderung tak mau beranjak dari meja belajarnya untuk bermain sebelum tugas-tugasnya terselesaikan?. Teori kognitif berpendapat bahwa kondisi-kondisi tersebut dimotivasi oleh kebutuhan untuk memahami. Teori motivasi kognitif mempu menjelaskan beberapa jenis tingkah laku manusia. Seperti: mengapa manusia memiliki rasa ingin tahu, mengapa manusia merasa heran ketika terjadi sesuatu yang di luar dugaan, mengapa para siswa terkadang bertanya tentang hal-hal di luar pelajaran, mengapa manusia berusaha dengan gigih menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan padanya, mengapa seseorang menginginkan adanya umpan balik dari setiap perfomansi tugas meskipun umpan balik tersebut bersifat negatif. Tingkah laku-tingkah laku tersebut berelasi dengan kemauan untuk memahami. 1. Ekspektasi x Teori Nilai Teori ini berpendapat bahwa seseorang termotivasi untuk terlibat dalam sebuah aktifitas karena mereka memiliki ekspektasi sukses dalam aktifitas tersebut (Wigfield dan Eccles, 1992, 2000). Kedudukan x dalam teori ini begitu penting, karena sebagaimana perkalian nol segala sesuatu yang dikalikan nol pasti menghasilkan nol. Analognya, jika ekspektasi untuk sukses atau nilai kesuksesan mendekati nol maka motivasi juga mendekati nol. Misalnya, terdapat seorang penulis ingin mencoba berkarir di bidang musik. Karena kemampuannya yang rendah di bidang musik, berakibat pada rendahnya ekspektasinya untuk sukses di bidang tersebut. Hal ini berakibat pada rendahnya motivasi untuk meraih karir di bidang musik. Ekspektasi x teori nilai menjelaskan bagaimana rendahnya prestasi seorang siswa di mata pelajaran sejarah menyebabkan dirinya malas untuk mencoba. Kegagalan yang berulang berakibat pada ekspektasi untuk sukses rendah sehingga motivasinya pun rendah. Ekspektasi Untuk Sukses Setiap kali mendapatkan tugas seseorang (siswa) tentu secara spontan bertanya pada dirinya sendiri ”mampukah saya menyelesaikan tugas ini?”. Jawaban untuk pertanyaan ini berkaitan dengan ekspektasi seseorang untuk mencapai sukses dalam tugas yang diberikan. Ekspektasi dipengaruhi oleh dua faktor primer: tanggapan terhadap sulitnya tugas yang diberikan dan skema. Tanggapan terhadap sulitnya tugas yang diberikan berpengaruh secara nyata. Ketika seseorang yang mendapatkan tugas menganggap tugas tersebut sulit maka kemungkinan orang tersebut memilki ekspektasi yang rendah untuk mencapai sukses dalam penyelesaian tugasnya. Sebaliknya jika seseorang menganggap tugas yang diberikan padanya mudah maka ia cenderung memiliki ekspektasi yang tinggi untuk sukses dalam tugasnya. Pengaruh skema berperan lebih kompleks. Skema merupakan organisasi serangkaian informasi dalam memori. Dalam skema terdapat konsep dan kepercayaan mengenai siapa diri kita (Pintrich dan Schunk, 2002). Misalkan seorang anak yang dalam skemanya terdapat konsep mengenai kemampuannya dalam bidang matematika dan ia percaya bahwa ia mampu di bidang matematika, maka skema dan kepercayaan ini akan membangun ekspektasinya untuk sukses di bidang matematika. Ia memiliki ekspektasi yang lebih tinggi dibanding anak yang memiliki konsep dan kepercayaan lebih rendah. Memiliki ekspektasi untuk sukses merupakan hal penting dalam pembelajaran di kelas. Karena siswa yang memiliki ekspektasi yang tinggi biasanya akan tekun dalam tugas-tugas yang dibebankan, memilih aktivitas yang lebih menantang, dan memiliki prestasi yang lebih tinggi daripada mereka yang ekpektasinya rendah (Eccles, 1998). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tugas Nilai tugas merupakan komponen kedua dari ekspektasi x teori nilai. Nilai tugas membantu seseorang menjawab pertanyaan spontan dalam dirinya ketika memperoleh tugas ”mengapa saya harus menyelesaikan tugas ini?”. Nilai tugas ini dipengaruhi oleh empat faktor: (1) Minat Minat merupakan karakteristik dari sebuah aktivitas yang menyebabkan seseorang memilki kemauan untuk melibatkan diri dalam aktivitas tersebut (Schraw dan Lehman, 2001). Munculnya pertanyaan ”mengapa saya harus menyelesaikan tugas ini?” seketika seseorang mendapatkan tugas mampu dijawab oleh minat, yakni ”karena tugas ini menarik”. Terdapat beberapa topik yang biasanya menarik minat seseorang secara umum, seperti keuangan, cerita romantis dan perihal jenis kelamin. Hal ini menjadi alasan mengapa banyak program televisi menyajikan topik-topik tersebut. Biasanya anak-anak tertarik untuk membaca cerita-cerita misteri, humor dan fabel. Namun topik-topik tersebut begitu terbatas dalam kurikulum sekolah. Oleh karena itu, terdapat beberapa faktor yang dapat diterapkan untuk mengembangkan minat anak antara lain: presentasi logis dan koheren, contoh-contoh konkrit, isi yang bersifat personal, dan keterlibatan siswa. Minat siswa juga berkembang ketika mereka diberikan kebebasan untuk memilih aktivitas dan materi bacaan. Mereka yang memilih materi sesuai dengan kemampuan mampu meningkatkan minatnya terhadap materi tersebut. (2) Kepentingan Jawaban yang kedua untuk pertanyaan ”mengapa saya harus menyelesaikan tugas ini?” yakni ”karena tugas ini penting”. Kepentingan merupakan tingkatan dalam sebuah aktivitas yang dilakukan seseorang dimana tingkatan tersebut dapat memperkuat atau melemahkan skema (Wigfelf dan Eccles, 1992). Misalkan, seseorang yang yakin bahwa dirinya adalah seorang atlet yang baik maka ia akan melakukan hal terbaik dalam suatu perlombaan yang diikutinya. Melakukan yang terbaik merupakan hal terpenting baginya karena hal tersebut dapat memperkuat kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri. Begitu pula dengan siswa yang memiliki kemampuan matematika. Menyelesaikan tugas matematika dengan baik merupakan hal penting baginya karena hal tersebut merupakan bukti bahwa ia benar-benar memiliki kemampuan di bidang matematika. (3) Nilai Guna Nilai guna merupakan tanggapan terhadap sebuah topik atau aktivitas karena manfaatnya di masa mendatang atau kegunaannya dalam karir yang akan dipilih (Wigfelf dan Eccles, 1992). Seseorang yang menganggap sebuah aktivitas atau topik tertentu berguna baginya akan melaksanakan aktivitas atau tugas tersebut walaupun ia tidak tertarik terhadap aktivitas itu. Dalam kondisi ini tampak bahwa motivasi yang terjadi merupakan motivasi ekstrinsik, namun pada akhirnya pemahaman yang terbentuk dari aktivitas yang tidak diminati tersebut akan membawa seseorang cenderung mengembangkan minatnya. (4) Kerugian Kerugian merupakan aspek negatif dari terlibatnya seseorang dalam tugas tertentu (Wigfelf dan Eccles, 1992). Kerugian yang dimaksud adalah serangkaian waktu yang dilewatkan karena berkonsentrasi menyelesaikan tugas yang lain. Misalkan seorang anak yang mendapat tugas mengenai materi yang tidak ia pahami dan menghabiskan banyak waktu untuk meyelesaikan tugas tersebut. Sesungguhnya anak ini telah kehilangan waktu yang mungkin bisa ia gunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas lain yang lebih diinginkannya daripada menyelesaikan tugas. Faktor kerugian yang terlalu besar dapat menyebabkan seorang anak bahkan memilih untuk meninggalkan atau tidak mengerjakan tugas yang diberikan. 2. Teori Self-Efficacy: Yakin Terhadap Kemampuan Self-Efficacy merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengorganisasikan dan menyelesaikan sebuah tindakan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas yang bersifat khusus (Bandura, 1986; Schunk, 1994). Self-Efficacy serupa dengan konsep pribadi tetapi terdapat perbedaan penting di antara keduanya. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai ekspektasi x teori nilai, seseorang yang memiliki konsep pribadi dalam mata pelajaran matematika yakin bahwa ia memiliki kemampuan di bidang tersebut. Self-Efficacy fokus terhadap pengorganisasian dan penyelesaian serangkaian tindakan, mendeskripsikan situasi yang lebih khusus dalam motivasi(Bonk dan Clark, 1999). Misalnya, seorang siswa yang self-efficacynya tinggi dalam mata pelajaran matematika ketika dihadapkan pada serangkaian masalah dalam sistem persamaan akan yakin bahwa dirinya dapat menyelesaikan masalah tersebut. Kemungkinan lain siswa tersebut tidak yakin akan kemampuannya hingga ia menggunakan metode-metode yang tidak umum dalam menyelesaikan masalah tersebut. Khasnya self-efficacy merupakan hal penting bagi guru karena dapat mempengaruhi keyakinan siswa terhadap kemampuannya sendiri. Dimana keyakinan tersebut tidak dapat dikontrol dan tidak dapat ditransfer. Dengan demikian guru harus menyadari keyakinan-keyakinan siswa dalam berbagai konteks yang berbeda. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy Terdapat empat faktor yang mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam meraih sukses dalam menyelesaikan tugas (Bandura, 1986). Faktor tersebut antara lain: performansi tugas terdahulu, pengamatan terhadap model penyelesaian tugas, persuasi verbal, dan faktor psikologis. Penyajian performansi tugas terdahulu, baik secara verbal maupun tulisan, dapat meningkatkan self-efficacy sesorang. Penyajian tersebut memberikan pengaruh terhadap seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas yang akan datang. Dalam mengamati model penyelesaian tugas dapat dilakukan dengan menyampaikan hasil atau langkah yang dianggap penting. Hal ini dapat meningkatkan self-efficacy seseorang sebagai akibat dari timbulnya ekspektasi dan tersedianya informasi bagaimana seharusnya kemampuan diperformansikan (Bandura, 1986; Kitsantas, Zimmerman dan Cleary, 2000). Persuasi verbal merupakan tindakan yang kurang efektif namun tetap memberikan pengaruh terhadap self-efficacy seseorang. Salah satu contoh persuasi verbal yakni komentar-komentar guru terhadap murid, seperti arahan pada siswa untuk mencoba menyelesaikan tugas yang lebih menantang. Jika siswa sukses dalam tugas tersebut maka self-efficacynya akan meningkat. Selain hal tersebut kondisi psikologis siswa dapat juga mempengaruhi self-efficacynya, seperti keadaan gelisah dan kondisi emosi lainnya. Kondisi tersebut dapat menurunkan self-efficacy seseorang karena perasaan takut gagal. Pengaruh Self-Efficacy Terhadap Tingkah Laku Siswa Siswa yang yakin terhadap kemampuannya untuk sukses atau self-efficacynya tinggi juga memiliki ekspektasi yang tinggi. Ekspektasi ini mempengaruhi motivasi mereka. Misalkan, siswa yang memiliki self-efficacy tinggimemilih tugas-tugas yang lebih menantang, berusaha lebih keras, tekun dalam mengerjakan tugas, menggunakan strategi-strategi yang efektif dan umumnya performansinya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang self-efficacynya rendah (Eccles. et al, 1998; Wigfield, 1994; Wigfield dan Eccles, 1992). 3. Teori Tujuan Tujuan juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap motivasi. Terdapat berbagai tanggapan terhadap setiap tugas yang diberikan kepada siswa. Tanggapan-tanggapan tersebut menggambarkan tujuan mereka menyelesaikan tugas yang diberikan. Misalkan komentar: ”ini menyenangkan, aku belum banyak tau mengenai materi ini karena itu aku akan menyelesaikan tugas ini dengan baik”, ”ini menyenangkan, kita bisa bekerja sama menyelesaikannya”, ”aku suka dengan tugas kelompok, karena aku tak perlu berusaha keras untuk menyelesaikan tugas tersebut”. Ketiga komentar tersebut masing-masing menggambarkan tujuan yang berbeda. Tujuan Pembelajaran dan Tujuan Performansi Banyak penelitian mengenai tujuan, motivasi dan prestasi yang fokus pada perbedaan antara tujuan pembelajaran dan tujuan performansi (Pintrich, 2002; Stipek, 2002). Berikut beberapa contoh tujuan: (1) untuk memahami topik yang sedang dibahas, (2) untuk memperoleh skor tiga tertinggi pada kuis selanjutnya, (3) agar dapat menyelesaikan tugas lebih cepat dari yang lain. Contoh pertama merupakan tujuan pembelajaran, sedangkan yang lainnya merupakan tujuan performansi. Tujuan pembelajaran fokus terhadap tugas-tugas yang bersifat mengembangkan kehalian dan meningkatkan pemahaman (Dweck dan Legget, 1988; Pintrich, 2000). Sedangkan tujuan peformansi fokus terhadap kompetensi dan bagaimana perbandingan kompetensi tersebut dengan kompetensi yang lain (A. Elliot dan McGregor, 2000; A. Elliot dan Trash, 2001). Tujuan pembelajaran merupakan tujuan yang lebih diperlukan. Tujuan pembelajaran cenderung menyokong minat dan usaha bahkan setelah siswa menyelesaikan tugas-tugas formal. Selain itu pengaruh tujuan pembelajaran dalam motivasi lebih kompleks. Pada awalnya, siswa ingin mencapai baik tujuan pembelajaran maupun tujuan performansi. Mereka ingin memahami topik pelajaran juga ingin memperoleh skor tinggi. Siswa yang ingin mendemonstrasikan kemampuannya cenderung percaya diri dan memiliki self-efficacy yang tinggi (Middleton dan Midgley, 1997). Di lain sisi, siswa yang orientasinya menolak performansi cenderung rendah rasa percaya dirinya dan memiliki self-efficacy yang rendah (Skaalvik, 1997). Siswa yang demikian, menolak performansi, tujuan performansinya dapat menurunkan motivasi (Midgley dan Urdan, 2001). Sekalipun orientasi pendekatan performansi tidak menurunkan motivasi, tujuan pembelajaran tetap memiliki kelebihan dibandingkan tujuan performansi. Kelebihan pertama adalah kontrol. Misalnya, tujuan pembelajarannya adalah untuk memahami topik yang sedang dibahas di kelas maka guru dapat mengatur, memonitor dan merevisi tujuan tersebut. Berbeda dengan tujuan performansi, jika tujuannya untuk mendapatkan skor tertinggi sedangkan topik yang diujikan begitu sulit maka siswa tersebut mungkin saja tidak mampu memperoleh skor tinggi. Selain itu, tujuan performansi didasarkan pada perbandingan performansi. Sekeras apapun usaha siswa tetap saja tidak akan memperoleh nilai tertinggi jika teman lainnya memiliki performansi yang lebih baik. Kelebihan yang kedua terdapat pada respon siswa terhadap kesalahan dan kegagalan. Kesalahan dan kegagalan merupakan bagian dari pembelajaran, respon siswa terhadap keduanya penting untuk motivasi mereka. Kegagalan dalam tujuan pembelajaran dapat merangsang siswa untuk meningkatkan usaha atau mengubah strategi yang digunakan. Kegagalan dalam tujuan performansi dapat merangsang rasa gelisah siswa dan orientasinya untuk menolak performansi selanjutnya (Midgley, Kaplan, dan Middleton, 2001). Progres siswa di sekolah, orientasi performansinya, cenderung meningkat saat orientasi pembelajarannya menurun (A. Elliot dan McGregor, 2000). Kadangkala tanpa disadari guru berkontribusi terhadap orientasi performansi. Dengan menegaskan pada siswa bahwa mereka harus memperoleh nilai bagus agar bisa masuk bangku kuliah dan mendiskusikan perbedaan performansi tugas antar siswa. Tujuan dan Teori Intelegensi Alamiah Beberapa peneliti (e.g. Dweck, 1999; Dweck dan Legget, 1998) meyakini bahwa dorongan untuk menanamkan tujuan pembelajaran atau tujuan performansi berhubungan dengan teori tentang intelegensi alamiah masing-masing individu. Terdapat dua pandangan mengenai intelegensi. Pandangan yang pertama, kemampuan itu stabil dan di luar kontrol individu. Pandangan kedua, kemampuan dapat dikembangkan melalui usaha. Menurut Dweck dkk, pendapat pertama cenderung memakai tujuan performansi dan pendapat kedua cenderung memakai tujuan pembelajaran. Menurut Dweck dan Legget (1998) berdasarkan pandangan pertama seseorang yang memiliki intelegensi tinggi akan memilih tugas-tugas yang menantang dan tekun ketika menghadapi kesulitan. Apabila orang tersebut memiliki intelegensi yang rendah akan menolak tugas-tugas yang menantang karena takut gagal. Berbeda dengan pandangan yang ke dua, tanpa memandang tingkat intelegensi seseorang cenderung memilih tugas yang menantang dan tekun karena kegagalan baginya berarti butuh usaha yang lebih keras dalam menyelesaikan tugas. Pandangan ke dua cenderung meningkatkan motivasi dan prestasi, karena kompetensi bertambah maka intelegensi juga bertambah (Mc Celland, 1985). Menggunakan Tujuan Secara Efektif Banyak siswa, bahkan mahasiswa, yang belajar tanpa memiliki tujuan yang jelas di benaknya. Para siswa biasanya mengopi catatan pelajaran tanpa membangun sendiri pemahamannya. Mereka menganggap hal demikian sama dengan belajar. Terdapat empat proses penggunaan tujuan secara efektif, yaitu: (1)Pengaturan Efektivitas Tujuan Agar tujuan dapat tercapai, harus ada komitmen untuk melaksanakannya (Pintrich dan Schunk, 2002). Cara yang terbaik untuk meningkatkan komitmen terhadap tujuan adalah dengan memandu siswa dalam menentukan tujuannya, bukan menentukan tujuan siswa (Ridley, Mc Combs, dan Taylor, 1994). Bagaimanapun siswa harus dilibatkan dalam menentukan tujuan agar motivasi yang dipengaruhi oleh tujuan tersebut tidak hilang. (2) Memonitor Tujuan Memonitor tujuan berarti menunjukkan kegunaan prestasi, mengenalkan self-efficacy dan bisa jadi pengalaman emosional yang menyenangkan. Misalnya, terdapat 26 pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa dalam waktu seminggu. Belum sampai pertengahan minggu separuh dari jumlah pertanyaan tersebut telah terjawab. Siswa tersebut akan merasakan progres pada dirinya karena telah terbukti secara konkrit dan self-efficacynya meningkat. Selebihnya, siswa tersebut telah bertanggung jawab terhadap pembelajaran, dimana hal ini dapat meningkatkan rasa untuk berprestasi. Memonitor diri sendiri dalam mencapai tujuan juga bernilai (Schunk, 1997; Woltres, 1997). Misalnya. Seorang siswa memonitor waktu yang dihabiskannya untuk belajar dan ia menyadari bahwa ia telah menghabiskan banyak waktu untuk kegiatan yang tidak termasuk belajar seperti menyalin catatan. Kesadaran ini dapat memotivasi ia untuk menemukan hubungan antar ide-ide di catatannya. Jika ia yakin perubahan perilakunya dapat meningkatkan pembelajarannya, maka motivasinya akan terbangun (Schunk, 1997). (3) Penggunaan Strategi Penggunaan strategi berarti memilih strategi yang efektif. Misalnya, dalam menjawab sebuah pertanyaan. Mencari jawaban dengan membaca merupakan cara belajar yang pasif. Strategi yang lebih efektif adalah mengonstruk jawaban kemudian mengoreksi kembali jawaban tersebut. (4) Metakognisi Para guru dapat membantu siswa untuk lebih metakognitif dengan mengikuti jejak pemikiran siswa dan dengan mengarahkan mereka untuk berfikir tentang cara mereka belajar. Guru harus mengkomunikasikan bahwa belajar merupakan tindakan sadar, bersifat disengaja dan butuh usaha (Alexander et.al., 1998). 4. Teori Hubungan Teori hubungan merupakan teori motivasi kognitif yang secara sistematis mendeskripsikan penjelasan atau alasan seseorang mengenai kesuksesan dan kegagalannya. Hubungan terjadi dalam tiga dimensi (B.Weiner, 1992, 1994a, 1994b). Dimensi pertama disebut Locus (location of causes). Locus berada di dalam atau di luar diri siswa. Kemampuan dan usaha terletak dalam diri siswa, sedangkan keberuntungan dan kesulitan terletak di luar diri siswa. Dimensi ke dua adalah stabilitas. Usaha dan keberuntungan bersifat tidak stabil karena keduanya dapat berubah, sedangkan kemampuan dianggap stabil oleh teori ini. Dimensi ke tiga adalah kontrol, tingkatan dimana siswa bertanggung jawab atas kesuksesan dan kegagalannya. Siswa dapat mengontrol usahanya tetapi ia tidak dapat mengontrol keberuntungan dan kesulitan. Penelitian menyebutkan bahwa orang-orang cenderung menghubungkan sukses dengan penyebab internal, seperti kerja keras dan kemampuan yang tinggi, dan menghubungkan kegagalan dengan penyebab eksternal (Marsh, 1990). Ketika siswa mengerjakan tugas dengan buruk, ia cenderung menghubungkan kegagalannya dengan pengajaran gurunya yang buruk, topiknya membosankan, dan faktor eksternal lainnya. Motivasi cenderung meningkat ketika siswa menghubungkan kegagalannya dengan usahanya yang kurang dan motivasi cenderung menurun ketika siswa menghubungkan kegagalannya dengan penyebab yang tidak dapat dikontrol (Ames, 1992). Hubungan juga mempengaruhi guru. Misalnya, jika guru yakin siswanya akan sukses karena caranya mengajar maka ia akan berusaha terus mengajar (Shahid, 2001). Strategi Instruksional (Kepercayaan, Tujuan dan Hubungan) Para guru dapat mengaplikasikan teori motivasi kognitif dalam berbagai cara. Berikut prinsip-prinsip yang dapat mengarahkan guru: •Cobalah untuk meningkatkan self-efficacy siswa dengan memberikan bukti prestasi. •Mengarahkan siswa untuk memanfaatkan hubungan atribut internal untuk sukses dan atribut yang dapat dikontrol untuk sebuah kegagalan. •Menegaskan nilai guna dalam peningkatan kemampuan. •Kenalkan pada siswa tentang minat, dengan modelisasi minat guru, bersifat personal, contoh konkrit, melibatkan siswa, dan memberikan pilihan. •Menegaskan tujuan pembelajaran dan tanggung jawab, strategi yang efektif dan metakognisi. 5. Teori Determinasi Diri Teori ini menjelaskan motivasi intrinsik dan ekstrinsik dan serangkaian peningkatan determinasi diri yang berlangsung di ranah motivasi ekstrinsik dan berakhir di ranah motivasi intrinsik. Sekalipun teori ini didasarkan pada pandangan teori kognitif secara primer, teori ini juga menggabungkan pandangan humanistik. Teori determinasi diri merupakan proses menentukan bagaimana cara bersikap dalam sebuah lingkungan (Deci, 1980; Ryan dan Deci, 2000). Berdasarkan teori ini, memilih dan memutuskan merupakan motivasi intrinsik dan seseorang tidak akan puas jika semua kebutuhannya tidak terpnuhi dan tidak bisa menentukan pilihan. Teori determinasi diri berasumsi bahwa seseorang memiliki tiga kebutuhan psikologis: kompetensi, kontrol, dan hubungan (Ryan dan Deci, 2000). Kebutuhan Kompetensi Kompetensi dapat dideskripsikan dalam berbagai tingkatan. Dari segi antrolpologis, organisme yang tidak dapat memanfaatkan lingkungannya maka ia tidak mungkin dapat bertahan hidup. Di tempat kerja, kompetensi seseorang merupakan kesuksesan dan perkembangan karirnya. Di sekolah, kompetensi siswa adalah kesuksesan dalam belajar dan berprestasi tinggi. Kompetensi dan self-efficacy terkadang dianggap sama (Ryan dan Deci, 2000; Pintrich dan schunk, 2002). Seperti halnya self-efficacy, faktor terpenting yang mempengaruhi persepsi siswa terhadap kompetensi adalah bukti dan umpan balik yang mengindikasikan peningkatan kemampuan dan pemahaman. Meningkatnya persepsi terhadap kompetensi juga berakibat terhadap meningkatnya determinasi diri (Deci dan Ryan, 1987). Guru juga memiliki pengaruh terhadap persepsi siswa pada kompetensi dengan cara yang tidak eksplisit. Cara-cara itu meliputi: pernyataan-pernyataan atau komentar, kritik dan pujian, menunjukkan emosi, dan memberikan bantuan. Kebutuhan Kontrol Kontrol adalah kemampuan mengubah lingkungan sesuai kebutuhan. Kontrol merupakan sumber motivasi intrinsik (Lepper dan Hodell, 1989). Keadaan yang tidak terkontrol mengurangi motivasi intrinsik dan menyebabkan stres. Kontrol dan kompetensi saling berhubungan. Jika kompetensi meningkat maka persepsi kontrolnya juga meningkat. Kebutuhan Hubungan Hubungan dalam hal ini diartikan sebagai perasaan terhubung dengan orang lain dalam sebuah lingkungan sosial yang mengakibatkan rasa pantas mencintai dan menghargai. Kebutuhan hubungan pada teori ini serupa dengan kebutuhan untuk saling memiliki dalam hirarki Maslow (Maslow, 1986, 1970). Para guru yang hadir untuk siswa, menyukai, memahami dan berempati pada siswa memiliki siswa yang secara emosional, kognitif dan perilaku terlibat dalam aktifitas di kelas maka guru tersebut dianggap lebih rendah dalam ranah ini ( Mc Combs, 1998; E. Skinner dan Belmont, 1993). Kemudian, para siswa yang merasa memiliki dan yang menerima dukungan personal dari gurunya lebih berminat dalam tugas-tugas di kelas daripada siswa yang jauh dari gurunya (Goodenow, 1993). Selebihnya, siswa yang menganggap gurunya orang yang selalu memberi semangat lebih memungkinkan mencapai tujuan sosial, bertanggung jawab secara sosial (Wentzel, 1996). Secara umum, kondisi ini menggambarkan bahwa penerimaan dan semangat di lingkungan kelas, dimana masing-masing siswa diperlakukan tanpa memandang kemampuan akademik dan performansinya, berkontribusi terhadap hubungan dan hal ini penting dalam pembelajaran dan motivasi (Stipek, 1996). Strategi Instruksional Teori determinasi diri memiliki sejumlah implikasi untuk para guru. Berikut prinsip-prinsip yang dapat diaplikasikan untuk memotivasi pembelajaran dan membangun determinasi diri: •Menggunakan penilaian yang meningkatkan motivasi intrinsik. •Memperkuat peningkatan kompetensi. •Menciptakan lingkungan kelas yang memungkinkan siswa untuk melakukan banyak kontrol. •Merancang aktivitas pembelajaran yang menantang pemahaman dan keterampilan siswa. •Jika memungkinkan, mulai aktifitas pembelajaran dengan kondisi yang bervariasi. •Biasakan siswa dengan penghargaan positif dan komunikasikan pada mereka bahwa anda memiliki komitmen terhadap pembelajaran.

Tidak ada komentar: